Malam di akhir Desember.

Hi! Apa kabar? Sudah lama aku gak bersua di sini, ya. Bukan lagi soal musik melainkan kini aku ingin menceritakan hal personal mengenai diriku. Suasana kali ini berbeda, sebab kini aku tengah duduk di sebuah kafe, dengan matcha latte dingin dan dimsum yang kupesan sebagai camilan. Oh, gak lupa aku pesan teh lemon dingin karena selain manis, aku butuh sesuatu yang segar untuk menemaniku malam ini. Bukan dengan rencana sempurna, yang membuatku berakhir di sini hanya karena kebetulan aku bawa laptop ke kantor, sedikit merasa sedih dan ingin menikmati hariku sendiri. Aku bahkan memilih tempat yang cukup menyenangkan. Meski tempat ini pilihan kedua setelah yang pertama kudatangi tutup lebih awal karena ya... ini malam tahun baru. Aku bahkan gak berharap memiliki acara dengan teman-temanku. Kian dewasa, aku gak terlalu pusing akan hal seperti itu. Lagipun, menikmatinya di kafe seperti sekarang tidaklah buruk.

AAAAHHHH bagaimana aku memulainya, ya? Bagaimana memulai cerita tentang orang yang sudah kukenal.. 9..10 tahun lalu? Aku kenal dengannya sejak aku SMA, memulai hubungan sewaktu aku kuliah dan berakhir sebelum aku lulus. Hubungan kami berakhir di tahun 2018. Kami pernah bertemu tahun 2019 di sebuah festival musik. Hingar bingar di festival musik membuat kami gak punya banyak waktu juga kesempatan untuk membicarakan kehidupan kami. Selepasnya hubungan kami, komunikasi kami sebatas mengucapkan ulang tahun atau sekadar menyelamati di hari raya. Aku sibuk dengan hidupku, begitupun dirinya.

Berakhirnya hubungan kami bukan sesuatu yang memberatkanku. Aku gak perlu susah payah menjalani hidupku tanpanya. Hingga aku mendengar cerita-cerita mengenai banyaknya perselingkuhan, sulitnya menemukan pria yang setia, konyol memang, yang kurasa memicu pemikiranku akan dirinya yang bertolak belakang. Memicu memoriku mengenai dirinya. Pikiran-pikiran itu menggerogoti diriku perlahan. Intropeksi dan penyadaranku sudah terlambat. Merasa bersalah, kian lama aku kian frustasi. Hingga Januari 2023, aku mengutarakan perasaan juga pikiranku padanya. Aku ingin memulai tahun dengan tenang. Aku ingin menyelesaikannya. Alih-alih pesan singkat, aku kirim surel padanya. Dengan pemikiran, aku hanya ingin mengungkapkannya, aku gak tahu apa pesanku sampai. Pun jika sampai dan dia merasa gak perlu membalas, aku gak masalah.

Aku terjaga semalaman. Cukup malam hingga aku terlelap begitu mengirimnya. Rasanya melegakan sebagaimana harapanku, hingga kudapati dia kirim pesan padaku gak lama setelah menerima surelku. Pesan itu aku baca siang karena nyatanya menyusun ungkapan secara tertulis gak hanya menguras pikiran dan perasaanku, tapi juga daya bateraiku. Hahahaha.
Kau tahu apa? Dia merasa aku perlu bertemu dengannya. Supaya aku benar lega, katanya. Maaf juga perlu diungkapkan langsung, katanya. Sialnya dia benar. Entah kenapa aku masih belum bisa bertemu dengannya. Ajakan bertemu gak hanya datang sekali dan untungnya aku selalu bisa berkelit untuk menolaknya.

Meski cukup menyebalkan karena dia melewati ulang tahunku tahun ini, tapi kenyataan komunikasi kami yang sekadarnya sudah cukup buatku merasa hal itu gak terlalu masalah. Lagipun, ulang tahunku bukan hal besar buatku. Hingga setelahnya dia bersilaturahmi di hari raya. Mengirim pesan padaku dan aku merasa.... mungkin aku harus bertemu dengannya. Menemukan jawaban atas perasaan-perasaanku yang lalu sebab setelah insiden surel itu, perasaan-perasaanku tetap gak hilang sepenuhnya. Mungkin benar yang dia bilang, kami harus bertemu.

Tetap, pertemuan itu gak langsung berjalan mulus. Aku meminta waktu 3 bulan darinya dengan alasan yang kurasa cukup masuk akal, meski itu hanya masuk akal menurutku. Sinting.
Kami bertemu di bulan Juli 2024. Di pusat Jakarta di mana hari itu ada festival kesenian. Terhitung hari itu ketiga kali aku datang setelah sebelumnya kuhadiri acara musik dan bedah buku bersama seorang penulis selepas kerja, kebetulan kunjungan pertamaku itu saat aku masih bekerja di daerah sana.

Banyak waktu yang kami lalui tanpa tahu kabar masing-masing hingga kurasa kami gak kehabisan obrolan. Pertemuan itu berjalan baik dan menyenangkan. Aku berusaha untuk gak melihat banyak ke ponselku saat bersamanya. Entah kenapa aku ingin lebih menghargai waktu sebab ini pertemuan kami setelah sekian lama, pun mungkin kali terakhir. Siapa tahu, kan? Meski ya… kuakui saat itu ada yang dekat denganku. Mungkin dia juga di posisi sama?
Malam itu aku menceritakan tentang kehidupanku kini, dia menceritakan tentang kehidupannya kini. Aku menanyakan tentang kehidupannya kini, begitupun dia yang menanyakan tentang kehidupanku kini. Jika kupikir sekarang, di depanku saat itu, ada seseorang yang pernah mengisi hari-hariku, mengajakku ke acara orkestra sebagai kencan pertama, memberiku bunga di hari pertama kami, membelikanku bunga juga cokelat di suatu hari di bulan Februari selagi aku tersipu di mobil menunggunya, merayakan ulang tahunku dengan kue yang menggemaskan, terpaksa meneduh sebab hujan-hujanan selepas menjemputku di kampus, menuruti keinginan konyolku ke kafe di mana kami bisa menuliskan surat, dan segala sikap manisnya padaku yang jika kutulis semua, kurasa aku perlu memesan beberapa camilan juga minuman lagi. Hahaha. Jika kuingat lagi, aku gak terlalu berbuat banyak untuknya. Kini aku jadi berharap ada hal baik terkenang dariku untuknya.

Membahas sikap baiknya tadi, aku jadi merasa gak pantas sebal sepulang hari itu hanya karena ucapannya saat mengantarku. "Aku habis ini kayaknya langsung tidur.” Tapi biarkan aku misuh-misuh di tulisanku ini aaagh.
Hal ini perlu kuperjelas, bahwa di awal kami berhubungan, kami bukan tipe pendekatan yang rutin mengabarkan keseharian. Bisa dibilang sekadarnya. Biasanya kami kirim pesan jika ingin bertemu, dan setelah bertemu? Belum tentu kirim pesan. Jadi dengan kebiasaan seperti itu, tanpa perlu dia menuturkan, aku pun gak berharap setelahnya kami saling berbalas pesan. Pertanyaannya, kenapa dia merasa perlu bicara begitu? Seolah ingin membebaskan dirinya dari beban “perlu kirim pesan setelahnya” padaku.

Tunggu—kafe ini tengah memutar lagu Your Shirt-nya Chelsea Cutler! Woah, kali ini aku terkesan dengan pilihan lagunya setelah duduk di sini sekian lama. Keputar lagu Chelsea aku sudah terkesan, ditambah yang keputar adalah lagu rilisan 2017. Aku mungkin bisa maklum jika lagu populer Chelsea terkini. Pun, Your Shirt adalah lagu yang memperkenalkanku ke Chelsea! Tentu ini jadi spesial. Kadang aku suka cara semesta bekerja. Aku bisa bahagia hanya karena hal seperti ini.

Sampai mana tadi? Ah, ya. KENAPA DIA HARUS BILANG BEGITU? AKU KESEL!!! Harusnya kutendang motornya begitu aku turun.

Sebulan setelah pertemuan itu, dirinya ulang tahun. Meski ia melewati ulang tahunku, aku merasa gak perlu melakukan hal sama. Terlebih kami belum lama bertemu jadi kupikir baik bila aku memberinya selamat.
Hingga beberapa waktu lalu, dirinya membagikan cerita melalui Instagram, berupa gambar yang jelas menampilkan makanan yang hanya dimakan 2 orang. Pacar, tebakanku.
Gak ada gunanya menghabiskan malam dengan bertanya-tanya, jadi inginku perjelas. Akunya bukan, tapi biarlah tetap kusimpulkan sebagaimana dugaanku. Kabar baiknya, perasaan menyebalkan itu gak berlarut lama. Aku mungkin memang merindukannya. Sesekali kurasa aku akan mengingat kenangan kami. Sedikitnya aku mungkin berharap dapat memutar waktu dan mengubah keputusanku, memperbaiki segalanya. Sedikitnya keegoisanku berharap dia gak sepenuhnya melupakanku. Namun, aku berharap perasaan yang mengusikku, pengandaian padanya sepenuhnya usai di sini. Aku berharap hal yang membuatku sedih, hanya tertinggal di tahun ini. Kuharap aku dapat menemukan banyak kebahagiaan di tahun depan. Aku harap kamu juga menemukan kebahagiaanmu, Wi, atau mungkin sudah.

Sudah pukul 9 malam, sebaiknya aku pulang.

CONVERSATION

0 Comments:

Post a Comment