John Mayer Asia Tour 2019: Jakarta

Semua berawal dari pagi itu. Saya menelusuri handphone yang masih ada di atas kasur. Saya buka aplikasi Twitter, media sosial yang dari awal saya buat, gak pernah saya tinggalkan. Di sana tertera tweet dari John Mayer. Sudah setahun lebih dirinya meninggalkan Twitter. Sesekali muncul, sebatas promosi atau hal semacamnya. Bukan lagi tweet relateable sekaligus konyol yang muncul dari pikiran absurdnya.

Pagi itu, dirinya membagikan sebuah foto. Hal pertama yang saya lihat adalah “Jakarta, Indonesia.” Perlu sekitar 3 detik sampai akhirnya saya sadar, sepenuhnya terbangun, kaget, dan bahagia. Oh, gak lupa juga saya panik. Kemudian banyak pertanyaan yang muncul dibenak saya. Bayangkan kamu baru saja bangun dan otakmu dipaksa berpikir.
Hal utama yang jadi pertanyaan adalah harga tiket. Saat itu, teman saya yang kebetulan juga minat dengan Mayer, langsung membalas tweet saya, dan mendiskusikan tentang perkiraan harga tiket. Kami tertawa karena sama-sama setuju termurahpun gak akan di bawah satu juta. Mayer memang sepadan itu. Apalagi setelah karir 2 dekade, ini adalah kali pertama dirinya konser di sini. Saya tekankan, kali pertama. Tentu saya gak mau melewatkan itu. Ibarat judul lagu John Mayer, saya ini udah di Edge of Desire.

Tiket dijual 25 Januari 2019, bertepatan dengan acara yang pernah saya ceritakan di sini. Saya jadi panitia dan itu membuat saya pusing, cenderung gak peduli pada acara saya. Dari malam, saya susah tidur, takut kehabisan. Padahal saya bisa saja mengikuti prinsip kakak saya yang membeli tiket saat mendekati konser, tapi rasanya gak tenang, dan kini saya justru bersyukur karena nyatanya oleh orang lain tiket dijual lebih mahal.

Penjualan tiket dibuka pada pukul 8 pagi yang nyatanya sistem baru bisa berjalan sekitar pukul 9. Kamu tahu apa yang aneh? Saya sudah mandi pagi-pagi khusus untuk itu. Haha. Mandi pagi saja bisa jadi hal yang aneh, ya? Penjualan tiket dibagi 2 sesi. Di sesi pertama, saya kehabisan, lebih tepatnya saya lengah, karena saya sempat Twitter-an dulu. Hihihi. Capek nunggu yang gak jelas. Tapi karena itu, saya jadi menangis. Saya langsung menangis dan menyesali perbuatan saya. Di sesi kedua, lebih parah cepatnya. Itu tangan pada terbuat dari apa, sih?
Saya terus refresh page di aplikasi Bukalapak. Semacam mencoba peruntungan. Tiba-tiba aja, kategori Premium Festival bisa saya klik, saya rasa karena orang yang memesan gak langsung melakukan pembayaran, sehingga tiket kembali bisa dipesan orang lain. Tuhan sangat baik.

Usaha saya gak berhenti di situ, saya mencoba peruntungan yang lain. Banyak media yang mengadakan kuis untuk tiket John Mayer—karena memang datangnya John Mayer ke sini se-dinanti-nantikan itu—seperti Bukalapak, Prambors, NET TV, Detik.com, Kumparan, Viva.co.id, Female Radio, Kaskus, dan entah lain yang saya gak tahu. Saya malas ikut kuis yang harus unggah foto di Instagram, karena Instagram saya kunci. Meski sekali waktu saya pernah membuka kunci Instagram saya karena tergiur dengan kuis Prambors dan bisa menangin tiket untuk John Mayer dan Lauv. Percayalah, saya sudah melakukan pemesanan untuk tiket Lauv, dan saya beruntung gak sampai melakukan pembayaran karena sebulan setelahnya, pengumuman John Mayer ke sini. Untuk suatu alasan, saya merasa kuis Prambors terlalu rumit, sepadan dengan hadiah yang mereka tawarkan memang. Jadi, saya hanya ikut di Bukalapak, Female Radio, dan hari terakhir di Kaskus. Untuk kamu yang bertanya-tanya, saya gak menang di ketiganya.
RFID card
Premium Festival adalah satu-satunya kategori yang berdiri. Berbeda dengan Premium Festival, kategori yang lain bisa datang kapan saja karena gak perlu "berusaha" untuk mendapatkan pemandangan terbaik. Jauh hari, saya dan teman-teman peminat John Mayer yang lain sudah janjian untuk bertemu di venue. Omong-omong, peminat John Mayer yang saya maksud yang tergabung di grup Square Line 'John Mayer Indonesia', kebetulan saya yang membuat grup tersebut. Tapi jangankan untuk bertemu dengan katakanlah ‘orang asing’, saya dapati beberapa orang di sana bahkan terpisah dengan temannya sendiri. Hahaha. Untuk beberapa alasan, saya merasa memang lebih baik sendiri, apalagi saat menikmati berlangsungnya konser.

Setelah caci makian yang terus ditujukan pada promotor sebelum hari konser, tapi untuk waktu penyelenggaraan acara bisa saya bilang tepat waktu. Gak meleset, selesai bahkan tepat waktu. Mungkin tim John Mayer—yang sudah menyelenggarakan konser berpuluh-puluh kali—terbiasa memanajemen waktu dengan sangat baik pula.
Setlist
Untuk lagu-lagu yang dibawakan memuaskan dengan setlist yang 'cukup' banyak. Saya bilang 'cukup' karena meski ini memang banyak tapi yha.. tetap saja masih banyak juga lagu yang gak dibawakan. Hehe. Manusia, gak bisa puas, eh? Tapi tentu saya harus bersyukur, terlebih banyak membawakan lagu-lagu lama. Cinta banget pokoknya. Apalagi saya mendapat pemandangan yang bagus. Saya bisa lihat Mayer bahkan sampai sepatu cokelatnya dengan jelas. Saya bisa melihatnya tersenyum, melihat jarinya yang lihai memainkan gitar, sekaligus menikmati mimik wajah khasnya apabila tengah menikmati permainan gitarnya sendiri. Mungkin saya terkesan gila, tapi saya rasa Mayer melihat saya. Saya tahu itu karena saya gak melewatkan momen sedikitpun untuk berpaling pandangan darinya. Baiklah, sekarang saya benar-benar gila. Percaya atau gak, saat melihatnya secara langsung, saya berpikir, “Apa yang kurang dari orang ini, ya?” Dan itu hanya berujung menjadi pertanyaan, karena saya gak menemukan jawabannya. Oh, mungkin suara tawanya yang creepy. Hahahahaha.

Kalau dipikir-pikir, malam itu pas sekali dengan lirik Love on The Weekend, “It’s a Friday. We finally made it. I can’t believe I get to see your face.” Seperti ungkapan yang dirasakan penggemar karena akan bertemu Mayer, atau bisa berbalik, perasaan Mayer yang akan bertemu dengan penggemarnya, secara ini konser pertamanya di Indonesia. Saya juga suka saat menyanyikan Waiting On the World to Change dibuat layaknya versi original, yang mana ada hitungan sebelum memasuki lagu. Menandakan bahwa hitungan itu bahkan jadi hal yang penting dilakukan sebelum memainkan lagu Waiting On the World to Change.
Kemudian ada 4 lagu yang dinyanyikan Mayer seorang diri, dan tentu dengan gitarnya. XO, Your Body Is a Wonderland, Neon, dan In Your Atmosphere. 4 lagu itu gak ada yang mengecewakan sama sekali, terlebih yang terakhir. Meskipun sulit untuk saya jawab—karena saya mencintai semua lagunya—tapi apabila kalian bertanya apa bagian terbaiknya, jawaban saya adalah In Your Atmosphere. Saya beruntung dan berterima kasih pada Mayer karena telah memainkan lagu itu, telah membiarkan saya mendengar lagu itu langsung darinya.

Ada sedikit cerita lucu kemarin. Bagi kamu yang tahu lagu In Your Atmosphere, mungkin kamu setuju bila saya bilang lagu itu layaknya jebakan karena setelah lirik “The sunset says we see this all the time. Nevermind. Never you mind,” musik langsung berhenti. Saat itulah kamu berpikir bahwa itu adalah bagian akhir dari lagu tersebut. Begitupun cara yang Mayer mainkan malam itu, lagu tepat berhenti pada lirik itu. Tapi sebagian atau bisa saya bilang sedikit dari kami yang menonton saat itu, mengetahui bahwa sebenarnya lagu itu belum selesai, masih ada sepenggal lirik yang membuat kami spontan melanjutkan bernyanyi.
Kalau boleh saya bilang, selain suara yang entah terdengar dari mana, di sekitaran saya yang melanjutkan nyanyi hanya saya dan cowok di depan saya yang saya yakin sama sintingnya dengan saya. Kami melanjutkan,
Wherever I go whatever I do. I wonder where I am in my relationship to you. Wherever you go whatever you are. I watch your life play out and take pictures from a far.”
Bahkan sampai senandung hoo-hoo yang memang khas di akhir lagu itu. Kamu tahu apa? Saya dapati Mayer—yang saat itu sedang ingin mengganti gitar—menoleh dan tersenyum, kami akhirnya tertawa. Ah, itu salah satu momen yang gak akan saya lupakan. Kamu lihat, kan, John? Bagaimana penggemarmu di sini mencintaimu dengan amat sangatnya. Lagipun, bagian yang kami lanjutkan juga merupakan bagian penting untuk menjadikan lagu itu semakin sempurna. Oh iya, bila kamu tertarik, saya pernah membedah makna lagu In Your Atmosphere di sini.

Setelah mengganti gitarnya, Mayer memainkan lagu-lagu selanjutnya bersama band. Saya suka saat Mayer bernyanyi, “I'll make the most of all the sadness,” dan membiarkan kami melanjutkan lirik dari Slow Dancing In a Burning Room itu. Tentu saya, penonton lainnya, dan si cowok sinting itu seakan siap mengatakan dari sepenuh hati, kami teriak melanjutkan, “You’ll be a bitch because you can!” Saya gak tahu berkata kasar bisa semenyenangkan itu.

Setelah iseng “ketebak” dengan mengatakan bahwa Dear Marie adalah lagu terakhir, Mayer kembali dengan lagu You’re Gonna Live Forever in Me, dengan alat musik keyboard yang dimainkannya sendiri. Kamu tahu apa hal unik dan menakjubkan saat dirinya menyanyikan lagu itu? Dirinya juga bersiul layaknya versi original, itu kali pertama saya mengetahui bahwa bersiul dengan merdu itu ada, dan itulah yang dilakukan Mayer. Stop This Train, salah satu lagu yang sering diteriakin penonton akhirnya dibawakan oleh Mayer, dan itu membuat kami semua bernyanyi. Pada akhir lagu itu Mayer menambahkan lirik "and I'm sitting in the railway station, got a ticket for my destination." Ah, love that!
Konyolnya saya, saat orang-orang teriak Stop This Train, atau si cowok sinting itu yang teriak-teriak Neon, dalam hati saya, "saya gak mau sama dengan mereka." Haha. Bisa-bisanya saya masih berpikir begitu. Lagu yang muncul di benak saya saat itu adalah Why Georgia! Rasanya menyenangkan jika bisa mendengar lagu itu langsung darinya, tapi saya urungkan niat karena sepertinya gak ada satupun yang teriak lagu itu. Hahaha.
Kemudian konser ditutup dengan lagu Gravity, penonton dengan kompak menyalakan flashlight dari handphone-nya, Mayer membiarkan kami bernyanyi bersamanya, konser terasa semakin intim dan menyisakan akhir yang menghangatkan. Malam terbaik yang pernah saya rasakan.






Lihat postingan ini di Instagram

Where the Light Is, konser Mayer yang di tahun 2054 sekalipun, kalau aku masih hidup, akan tetap kutonton. beruntungnya, beberapa momen saat konser Mayer kemarin, aku seperti merasakan suasana sebagaimana konser Where the Light Is, dan aku suka. persis seperti yang pernah kutulis: tanpa tatanan panggung yang mewah, hanya dirinya, gitar, dan penggemar yang tentu siap mendengar lagu-lagu magis ciptaannya. oh, tapi gak dengan yang terakhir, sedikitnya aku tetap merekam berlangsungnya konser. hahaha. teknologi tahun 2007 dengan 2019 tentu gak bisa disamakan. ㅤ malam itu, Mayer hanya pakai kaos hijau polos (kaos paling jele yang dia pakai selama tur di asia), jeans belel, sepatu cokelat, dan bandana. gak ada yang spesial dari "visual"nya, dan memang bukan itu yang penting. tapi musiknya, tentang lagu-lagunya yang selalu mewakili setiap bagian dari hidupku, yang kadang aku sendiri gak bisa menjelaskannya.
Sebuah kiriman dibagikan oleh sifa fauziah (@sifaazh) pada

CONVERSATION

3 Comments:

  1. Omggg (': aku yg baca aja seneng banget apalagi kamu yang ngerasain saat itu yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. haiii, seneng kalau yang baca pun bisa ikut seneng. aku gak bisa berkata-kata lagi gimana bahagianya aku. yang aku tau, aku makin-makin-makin cinta dia setelah itu:') terima kasih sudah mampir, ya.

      Delete
  2. sebenarnya, bukan aku sepenuhnya mengurungkan niat untuk teriak 'Why Georgia'. aku sempat melakukannya. tapi kupikir itu gak bisa disebut sebagai teriakan. hahaha.

    ReplyDelete