Sebelum merilis album (resmi) debutnya pada awal tahun 2019, Heard It in a Past Life, perempuan yang memiliki nama asli Margaret Debay Rogers ini mengaku telah belajar bermusik khususnya memainkan instrumen harpa. Ketertarikan yang unik mengingat usianya baru 6 tahun saat itu, yang kemudian membawa awal karir musiknya sebagai pemain harpa di beberapa acara orkestra saat sekolah menengah atas dan mulai mencoba alat musik lain yaitu piano, gitar, dan banjo. Di usia 18 tahun, dirinya merilis album perdananya, The Echo, pada tahun 2012. Kental dengan nuansa folk klasik, musik Maggie saat itu berpusat pada banjo, biola, dan selo. Melahirkan karya yang patut diperhitungkan sebagai musisi juga penulis lagu dengan diksi-diksi yang indah dan impresif mengingat usianya yang masih muda saat itu.
"A Love Letter", lagu pertama yang saya suka dari album The Echo sebenarnya berisi lirik yang ringan tapi hangat. Di hari-hari yang berat, seolah Maggie merangkul saya, mengajak saya untuk berhenti sejenak dari rutinitas yang panjang. Sekadar menatap langit kamar dan mendengarkan lagu ini berhasil buat saya tersenyum mengingat hal-hal kecil yang dengan mudah buat saya bahagia sewaktu kecil.
Source: https://www.independent.co.uk/ |
Di tahun yang sama, selain merilis sendiri album pertamanya, demo dari album The Echo juga disertakan oleh Maggie untuk mendaftar di New York University. Pada tahun keduanya di NYU, Maggie merilis kembali album folk ke-2, Blood Ballet (2014). Pindah dari kota kecil Maryland ke New York City turut memberi perubahan dalam kematangan artistik pada musiknya. "It's a much different life and a much different pace with different people as well and I'm learning a lot," aku Maggie.
Single utamanya, "James", adalah lagu pertama yang saya dengar dari semua proyek musik folk yang pernah dibuatnya. Tidak butuh lama buat saya memutuskan untuk menggali semua hal tentang musik lamanya yang tidak saya ketahui sebelumnya. Diam-diam, musik folk memang aliran musik yang selalu saya cari saat ingin menemukan musik-musik baru. Saya rasa itu memang zona nyaman saya.
Menemukan musik lamanya di Bandcamp padahal harusnya sudah bisa lebih dulu saya temukan di platform musik lain buat saya berpikir kenapa Maggie seolah tidak lagi ingin merayakan musik lamanya? Kenapa musik lamanya tidak ada di Spotify dan kanal Youtube-nya? Kenapa Maggie bersikap seperti "itu-bagus-jika-kamu-menemukan-musik-lamaku" bukan seperti "kamu-juga-perlu-dengar-musik-lamaku"?
Pada wawancaranya dengan CBC Radio, Maggie bahkan mengaku pernah membuat musik folk dan beri pernyataan akan segera merilisnya di semua platform musik, yang sampai hari ini belum juga terjadi. Pada wawancaranya dengan Austin City Limits, dirinya juga mengaku pernah membuat musik folk hanya saja kini dirinya sudah bosan. Seperti yang pernah saya bilang pada postingan di Instagram saya, justru lagu-lagu lamanya yang buat saya akhirnya benar menyukai musiknya. Ingin sekali saya bisikan padanya betapa saya berharap dapat menyaksikan dirinya membawakan lagu-lagu tersebut.
Terlepas dari itu, pun saya menyukai gaya musik baru Maggie dan energi luar biasa darinya saat di atas panggung. Apapun itu, nampaknya Maggie memang memiliki alasan tersendiri melakukan itu. Seolah Maggie membuat album-album tersebut bukan semata-mata untuk semua orang melainkan dirinya sendiri. Dikutip dari laman Ear To The Ground Music, "She explained 'she doesn't care about the album' in the best way -- that is to say of course she loves it, but it was more something that she had to do and the commercial viability of it is not the point. It's art; it's her life. It matters, but she's not going to stress over it." "Rogers said that Blood Ballet is a collection of, '...the song I write in my bedroom as a sort of closure.'"
0 Comments:
Post a Comment